Takwa


Takwa

Rasulullah Saw bersabda, "Ada satu sifat bila dimiliki oleh manusia, maka dunia dan akhirat akan menaatinya dan ia dapat memanfaatkan surga. Ada yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah! Apa sifat itu?' Rasul Saw berkata, ‘Takwa. Barangsiapa yang ingin mulia di tengah masyarakat, hendaklah ia bertakwa.' Setelah itu beliau membaca surat at-Talaq ayat pertama dan kedua, ‘Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya."[1]

Takwa dijelaskan dalam al-Quran dalam banyak bentuk:

1. Bekal

Allah Swt berfirman, "Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa."[2]

Bekal yang dimaksud dalam ayat ini adalah sesuatu yang dapat menyelamatkan manusia dari kebinasaan. Bila menengok perjalanan yang dilakukan oleh orang-orang dahulu, maka setiap orang ketika hendak bepergian harus menyiapkan bekal. Berbeda dengan kondisi sekarang. Saat ini, orang yang akan bepergian tidak perlu menyiapkan bekal seperti dahulu, karena di sepanjang perjalanan ada saja yang menjual apa yang dibutuhkannya dalam perjalanan.

Imam Ali as berkata, "Ahli dunia seperti para pengendara yang berjalan dengannya, tapi dalam kondisi tidur."[3]

Sekalipun para pecinta dunia menganggap dirinya hanya duduk atau berdiri saja di kendaraannya, tapi ia merupakan musafir dari dunia menuju akhirat. Dengan demikian, tetap saja ia membutuhkan bekal dan yang terbaik adalah takwa.

2. Baju Takwa

Allah Swt berfirman, "Dan baju takwa itulah yang paling baik."[4]

Perumpamaan yang disampaikan oleh al-Quran dalam ayat ini sangat gamblang dan lugas. Karena sebagaimana pakaian dapat melindungi badan manusia dari udara dingin dan panas, juga menutupi badan manusia dari bahaya dan cacat yang ada di badannya, sekaligus menjadi penghias manusia itu sendiri. Esensi takwa selain melindungi manusia dari keburukan dosa dan menjaganya dari banyak penyimpangan individual dan sosial, juga menjadi hiasan baginya.

Lalu apa yang dimaksud dengan baju takwa?

Sebagian memaknainya dengan amal saleh, sebagian lainnya dengan rasa malu (Haya) dan ada juga yang mengartikannya sebagai pakaian ibadah. Semua model pemaknaan ini dapat dipakai untuk mengartikan ayat ini.[5]

Kelanjutan hadis dari Rasulullah Saw mengenai takwa itu menyebutkan, bila kalian ingin menjadi manusia yang paling mulia di tengah-tengah masyarakat, maka bertakwalah. Kemuliaan dalam hadis ini tidak terbatas pada kemuliaan akhirat, tapi juga kemuliaan dunia. Karena manusia yang berkhianat, pembohong dan zalim dibenci oleh manusia. Sebaliknya, manusia yang bertakwa mulia di hadapan masyarakat, bahkan orang yang tidak bertakwapun menyukai orang-orang yang bertakwa.

3. Kunci Surga

Allah Swt berfirman, "Itulah surga yang akan Kami wariskan kepada hamba-hamba Kami yang selalu bertakwa."[6]

Dalam surat Maryam pada ayat-ayat sebelum ayat 63 ini menyebutkan tentang nikmat materi dan maknawi yang ada di surga dan menyebutkan bahwa kunci surga dengan segala nikmatnya adalah takwa. Sementara pada ayat 63 ini kita menemukan kata "Irts" yang berarti warisan yang biasa digunakan dalam harta yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dan diberikan kepada orang-orang yang berhak atas harta warisan itu. Sementara surga bukan milik siapapun, kecuali Allah Swt dan sekilas kepemilikannya tidak dapat dialihkan dan dipindahtangankan. Lalu bagaimana memahami masalah ini?

Ada dua metode untuk menjelaskan masalah ini:

1. Kata "Irts" secara bahasa juga bermakna pengalihan kepemilikan dan dengan demikian tidak bisa dibatasi pada pengalihan kepemilikan harta mayit kepada keluarga yang ditinggalkannya.

2. Dalam sebuah hadis dari Rasulullah Saw disebutkan, "Setiap orang memiliki tempat di surga dan neraka. Orang kafir mewarisi tempat orang mukmin yang di neraka dan sebaliknya, orang mukmin mewarisi tempat orang kafir di surga."[7]

Jalan untuk meraih ketakwaan dimulai dari makrifatullah dan setelah itu mempercayai hari kebangkitan (Ma'ad). Kebanyakan orang yang tidak bertakwa diawali dari ketidaktahuannya akan Allah Swt. Siapa saja yang meyakini bahwa Allah Swt sebagai pemberi rezeki, mengapa harus mencuri? Siapa saja yang meyakini kemuliaan dan kehinaan berada di tangan Allah, mengapa harus mengemis kemuliaan dari orang lain! (IRIB Indonesia / Saleh Lapadi)

Sumber: Makarem Shirazi, Naser, Goftare Masoumeen (1): Dars-e Akhlak Ayatollah Makarem Shirazi, Tadvin: Mohammad Abdollah Zadeh, 1388 Hs, Qom, Entesharate Emam Ali bin Abi Thalib as.


[1]
. Bihar al-Anwar, jilid 77, hal 169, hadis 7.
[2] . QS. al-Baqarah: 197.
[3] . Nahjul Balaghah, Hikmah 64.
[4] . QS. al-A'raf: 26.
[5] . Tafsir Nemouneh, jilid 6, hal 132.
[6] . QS. Maryam: 63.
[7] . Tafsir Nur at-Tsaqalain, jilid 2, hal 31


Sumber : Masuk
Lebih baru Lebih lama